Apakah setiap orang yang telah melewati masa mudanya akan menjadi seorang perindu kenangan? Misalnya, saya di usia 40 an tahun ingin kembali ke usia 20-an. Atau setidaknya ingin kembali merasakan elan semangat dan keceriaan di usia tersebut.
Padahal, kalau diingat-ingat, sekarang saya jauh lebih mapan, kehidupan lebih baik, dan tentunya memiliki lebih banyak hal dibandingkan dengan masa muda saya yang miskin dan tak berpengetahuan.
Ataukah karena ada satu hal yang tidak pernah saya capai, mendapatkan perempuan yang saya impikan saat itu. Walaupun saya sudah ada gantinya, tapi memang ada proses yang hilang, ya sekaligus rasa yang jauh berbeda.
Tanpa menafikan apa yang sudah saya dapat, rasanya saya mau menukar ini semua demi kembali ke masa lalu. Tapi itu tentu tidak mungkin, kecuali dengan satu cara: imajinasi.
Yes, dalam hal ini boleh kita mewujudkannya dalam fiksi atau tulisan yang kita karang. Meski tentunya sudut pandang dan nuansanya akan jauh berbeda, setidaknya hal itu akan membantu saya pergi ke masa lalu.
Begitulah yang saya inginkan.
Saya ingin mengejar ia yang tak tercapai. Walau saya tau itu mustahil, tapi yang saya inginkan adalah semangatnya, perasaan yang sama dengan masa-masa kuliah dan bertemu dengannya. Itulah ternyata saat-saat terbaik saya, yang singkat, bodoh, ceroboh, tak berpendidikan, tapi berkobar semangat yang menjadikan siapapun sebagai penyair cinta.
Kadang begitu lah saya berpikir.
Mungkin ini gejala penuaan. Khayalan kita bukan lagi tentang masa depan, tapi deretan kenangan masa lalu.
Di sinilah saya butuh teman, teman dari masa lalu yang bisa menyambungkan saya dengan kenangan, dengan aroma yang jauhnya 20 tahun kenangan... Tapi yang juga bisa menyadarkan saya bahwa itu hanya kenangan, kita membicarakannya mungkin karena kita sedang kecewa dengan kekinian. Sayangnya, teman yang saya inginkan itu jauh sudah mengarungi hidupnya sendiri, yang entah bagaimana terlihat baik-baik saja meski saya tahu tidak demikian prosesnya. Kalaupun dia bahagia, rasanya itu memang sudah sifatnya yang ceria.
Suaramu yang nyarydan hampir cempreng itu ternyata suara termerdu yang pernah kudengar. Biasalah, aku berkata begitu setelah membiarkanmu.