Ciputra: Membangun impian, membangun Grup Jaya


Membangun impian, membangun Grup Jaya

“Saya melihat ayah saya diseret polisi Jepang, dinaikan ke perahu. Itu pandangan saya yang terakhir melihat dia. Dia mengangkat tangan seolah mengatakan jaga (diri) kamu baik-baik. Ibu saya meronta-ronta untuk mengejar dia. Saya peluk dia keras-keras, jangan sampai dia juga ditangkap oleh Jepang. Nah, sesudah ayah saya mati, pada jaman Jepang, toko kami ditutup. Ibu saya dan saya pindah ke kebun. Saya masih umur 12 tahun, masih sekolah dasar. Sampai umur 16 tahun saya bekerja di kebun sambil bersekolah. 7 km jalan kaki, jalan di tegalan. Kalau hujan, berlumpur. Saya bolak-balik, kalau pergi lari, kalau pulang lari. Kalau hujan, saya bungkus baju saya dalam daun palem, sampai basah. Sampai sekolah, saya pakai baju, celana, kering di badan. Tanpa sepatu, tentu.

Ibu saya seorang janda, kan, jadi bagaimana dia hidup? (dengan dua anak, dua lainnya tinggal terpisah) Saya bertani. Saya bekerja, berkebun, memelihara ayam, dan sapi. Untuk hidup dia jual makanan kecil, dan supaya dapat beras murah dia ijon beras tersebut. Sebagian dijual, jadi kita dapat makan gratis. Itu waktu Jepang. Sebelum jaman Jepang, kami berada di tepi pantai bumbulan dan punya toko kelontong. Sesudah Jepang kami disuruh mengungsi tujuh kilometer ke pedalaman di kaki gunung. Kami bertani sampai Jepang selesai. (lalu) saya pergi sekolah SMP di Gorontalo, kemudian SMA di Menando.”

Penggalan kisah di atas dipetik dari sebuah wawancara antara Peter F. Gontha dengan Ir. Ciputra. Orang yang pernah masuk dalam jajaran sepuluh orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes itu mengalami masa kecil yang sulit, yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya. Bahkan, beliau lulus SD pun sudah umur 16 tahun, karena adanya berbagai peristiwa seperti perang di masa Jepang menguasai Indonesia.

Kini, di usianya yang ke-80, Pak Ci telah membidani lahirnya tiga kelompok usaha besar di Tanah Air. Yakni Pembangunan Jaya, Metropolitan Development dan Ciputra Development. Ia duduk sebagai Presiden Komisaris Ciputra Development hingga sekarang. Sementara di Kelompok Jaya ia duduk sebagai komisaris dan Predsiden Komisaris Metropolitan Development.

Beliau juga merambah bisnis properti ke mancanegara seperti proyek Ciputra Hanoi International City Vietnam dan Kolkata West International City India. Mungkin tak terbayangkan bagaimana bocah yatim yang dahulu berburu ditemani 17 ekor anjing di hutan Sulawesi itu malih sebagai seorang raja properti Tanah Air.

Ciputra adalah pendiri Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) pada 1972. Ia juga menjadi orang Indonesia pertama yang pernah menjabat ketua Federasi Real Estate Dunia (FIABCI). Ia juga dikenal sebagai seorang filantropis, dan berkiprah di bidang pendidikan dengan mengembangkan sekolah dan Universitas Ciputra, yang menekankan pendidikan entrepreneurship. Catatan aktivitas dan prestasinya yang lain adalah memimpin Klub Bulu Tangkis Jaya Raya, peraih berbagai medali emas internasional untuk Indonesia (Harefa, 2006).

Pak Ci lahir dengan nama …... di Parigi, Sulawesi Tengah dari pasangan Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Masa kecil yang keras telah mengajarkan bagaimana menghadapi kehidupan. Orangtuanya adalah pedagang yang membuka toko kelontong, yang sekaligus tempat tinggal, di tepi pantai Bumbulan. Namun, ketika Jepang masuk, mereka harus mengungsi 7 Km ke dalam hutan dengan beralih ke kegiatan bertani dan berkebun. Kehilangan seorang ayah menjadi salah satu tonggak perubahan dalam hidup beliau. Ciputra remaja, yang menjadi kepala rumah tangga menggantikan ayahnya pada umur 12 tahun, berjanji akan mengubah kemiskinan keluarganya. “Dan, selalu saya bilang saya bisa mengangkat martabat keluarga saya. (Saya) dapat menghilangkan kemiskinan ini kalau saya bersekolah.”

Pada masa-masa berkebun itulah Ciputra mulai belajar entrpreneur. Ciputra bekerja memelihara ternak seperti sapi dan ayam dan juga berkebun ubi ketela. Sedangkan ibu beliau mengajarkan supaya berhemat. Selain memelihara sapi, ayam dan berkebun, Ciputra remaja juga gemar berburu. “Saya mempunyai anjing tujuh belas ekor yang saya pelihara, saya beri makan. Saya ambil kelapa, saya ambil ketela, saya ambil ubi kayu, saya campur dengan hasil buruan saya yaitu celeng. Saya kasih makan tujuh belas ekor anjing.”

Tekadnya untuk bersekolah tumbuh seiring makin besarnya tanggungjawab selepas ditinggal sang ayah. Sekolah dasar dilakoninya dengan jalan kaki 7 km melewati tegalan, tanpa sepatu. “Kalau hujan, berlumpur. Saya bolak-balik, kalau pergi lari, kalau pulang lari. Yang lain, kalau hujan, saya bungkus baju saya dalam daun palem, sampai basah. Sampai sekolah, saya pakai baju, celana, kering di badan.” Setelah itu ia meneruskan di SMP dan SMA Frater Don Bosco di Manado.

Pada tingkat empat, ia bersama dua temannya mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan yang berkantor di sebuah garasi. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur pada tahun 1960, ia pindah ke Jakarta.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال